Malaria yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama, khususnya di wilayah timur Indonesia, belum lagi usai. Tahun 2020 lalu, Indonesia dan seluruh dunia dihadapkan dengan pandemi COVID-19 yang menular jauh lebih cepat dari malaria. Penyebaran infeksi virus COVID-19 sudah meluas hingga ke wilayah-wilayah endemis malaria, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Sayangnya, gejala-gejala COVID-19 yang mirip dengan malaria membuat keterlambatan dalam menegakkan diagnosis malaria dan memberikan penanganan medis di daerah-daerah endemis malaria.
Merebaknya COVID-19 mempengaruhi pelaksanaan kegiatan upaya pengendalian dan pencegahan penyakit, salah satunya adalah malaria. Malaria dapat memperburuk kondisi seseorang yang juga terinfeksi COVID-19, begitu pula sebaliknya. Sayangnya, gejala kedua penyakit yang mirip menyulitkan petugas kesehatan dalam penegakkan diagnosa. Pasien dengan gejala umum seperti demam, berpotensi tidak terdeteksi infeksi malaria apabila hasil tesnya positif COVID-19. Orang-orang dengan gejala umum malaria juga dapat tertunda menerima pertolongan kesehatan karena ketakutan akan terinfeksi COVID-19, yang mana seringkali memunculkan stigma tertentu dalam masyarakat dan berpotensi untuk dikucilkan dari kehidupan sosial.
Pada masa pandemi COVID-19, pemeriksaan malaria dilakukan dengan tes cepat atau Rapid Diagnostic Test (RDT). Prosedur diagnostik dari Kementerian Kesehatan tersebut diawali dengan mencari tahu apakah pasien memiliki riwayat malaria maupun COVID-19, seperti kontak dengan pasien terkonfirmasi positif COVID-19, atau pernah melakukan perjalanan maupun tinggal di daerah endemis malaria. Pasien juga harus melalui pemeriksaan laboratorium untuk COVID-19 dan RDT untuk malaria sekaligus.
Apabila hasil RDT positif, maka pasien akan segera diberikan pengobatan, yaitu Obat Anti Malaria (OAM). Pembuatan sediaan darah juga tetap dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil RDT dan mengevaluasi hasil pengobatan malaria.
Dalam hal prosedur pelayanan pasien malaria, petugas kesehatan di dalam melakukan pelayanan malaria wajib mengikuti protokol pencegahan COVID-19, seperti menjaga jarak fisik, memakai masker dan APD (Alat Pelindung Diri), serta mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun secara reguler.
Maka dari itu, pemerintah berupaya untuk memberi pelayanan sesuai dengan protokol kesehatan malaria dan tetap mengimbau masyarakat di wilayah endemis malaria untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan.
Bagaimana cara membedakan malaria dengan COVID-19?
Malaria biasanya ditandai dengan gejala-gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, anemia, keringat dingin, diare, dehidrasi, mual dan muntah, dan dapat terjadi penurunan tekanan darah. Sementara, COVID-19 juga memiliki gejala serupa, seperti demam, sakit kepala, nyeri, kelelahan, dan batuk-batuk yang terasa kering.
Meski memiliki gejala-gejala yang cukup berbeda jika dilihat secara keseluruhan, namun adanya kemiripan gejala umum seperti demam dan nyeri membuat keduanya sulit dibedakan saat awal, sehingga dapat memperlambat penegakan dalam diagnosa.
Sebuah penelitian di Cina yang dilakukan oleh Benyun Shi and Jinxin Zheng, menunjukkan bahwa identifikasi COVID-19 yang dilakukan terlebih dahulu dapat mengurangi dampak COVID-19 terhadap potensi transmisi malaria.
Menurut co-founder Goodbye Malaria, Sherwin Charles, menangani penyakit yang lebih mendesak terlebih dahulu merupakan tindakan yang efektif. Dalam hal ini, Charles berpendapat bahwa malaria bisa menjadi penyakit yang mendesak sehingga perlu penanganan segera. Namun, penanganan malaria yang lebih diprioritaskan bukan berarti mengabaikan protokol kesehatan COVID-19. Hanya saja, penyembuhan diprioritaskan untuk penyakit yang lebih mendesak.
Jadi, masyarakat yang tinggal di wilayah endemis malaria disarankan untuk tidak mengabaikan gejala-gejala malaria maupun COVID-19. Meskipun COVID-19 merebak lebih luas dalam waktu yang lebih singkat, tetapi pengabaian akan gejala-gejala malaria juga bisa menimbulkan akibat yang fatal. Sebab, obat dan prosedur penanganan kedua penyakit mematikan ini berbeda.